Tuesday, March 29, 2011

Akhir Dari Hari-Hari Sepakbola Indonesia Mati!

The Day the Music Died
Hari Ketika Musik Mati
Charles Hardin Holley, atau Buddy Holly, salah satu legenda dan perintis musik rock. Ia dilahirkan 3 Februari 1936 di Lubbock, Texas, bermain band sejak usia 13 tahun. Kemudian ia membentuk kelompoknya bernama The Crickets, meluncurkan lagu seperti “That’ll be the day” dan “Oh Boy !” yang direkam oleh Decca Record.
Lagu terkenalnya yang lain termasuk “Maybe Baby”, dan solo hitnya “Peggy Sue” yang terkenal. Tanggal 3 Februari 1959, Buddy Holly bersama rekannya Ritchie Valens, The Big Bopper, dan pilot yang menerbangkan pesawat bertempat duduk empat orang itu, mengalami kecelakaan fatal. Pesawat mereka jatuh sesudah lepas landas dari bandara dekat Mason City, Iowa.
Tragedi kematian Buddy Holly itu kemudian telah mengilhami penyanyi Don McLean untuk menulis lirik, “Something touch me deep inside / The day the music died”, yang ia abadikan dalam lagu “American Pie” (1972) yang terkenal.
The Day Italian Football Died
Hari Ketika Sepakbola Italia Mati
Tanggal 4 Mei 1949, jam 5 sore, sebuah pesawat terbang Fiat yang berpenumpang 31 orang telah menabrak gunung Superga yang terletak di luar kota Turin, Italia. Sebagian besar penumpangnya adalah anggota tim klub sepakbola Torino. Berjulukkan The Grande Torino, Torino Agung, karena tim hebat ini sebelumnya telah memenangkan tiga kali juara di Serie A dan berpeluang untuk merebut juara keempat kalinya. Mereka juga mendominasi tim nasional Italia, karena sembilan anggota skuad Torino ini bergabung di dalamnya.
Kekuatan dominan sepakbola Italia, hari itu, tiba-tiba terenggut begitu saja. Tragedi ini tidak ada bandingnya dalam sejarah olahraga, dan tetap meninggalkan luka dalam hingga kini. Berbeda dengan tragedi jatuhnya pesawat terbang yang menewaskan skuad Manchester United di Munich, klub sepakbola Torino nampak sulit bangkit meninggalkan bayang-bayang tragedi masa lalunya ini.
Lima puluh tahun kemudian, penulis Alexandra Manna dan Mike Gibbs menuliskan kembali kisah tragedi tersebut dan pengaruhnya sampai kini dalam buku mereka, The Day Italian Football Died : Torino and the Tragedy of Superga (2000).
The Day Indonesian Football Died
Hari Ketika Sepakbola Indonesia Mati
Itulah judul tulisan yang saya posting di mailing-list ASSI (Asosiasi Suporter Sepakbola Indonesia), 25 Februari 2002. Judul itu muncul di kepala ketika membaca posting Sigit Nugroho, Ketua ASSI, mengenai tragedi kematian Beri Mardias (saat itu baru dikenal sebagai Berry Padang, karena ia suporter tim Semen Padang) yang tewas dikeroyok kelompok suporter lawannya di seputar Senayan, Jakarta. Ia yang kelahiran Padang 11 Desember 1979, lulusan SMP, berdomisili di Gang Penghulu, Jatiwaringin, Pondok Gede Bekasi itu, meninggal dalam usia 23 tahun.
Adalah seorang Jock Stein, pelatih legendaris Glasgow Celtic, pernah bilang bahwa sepakbola tanpa suporter hanyalah omong kosong. Terinspirasi ucapan Stein, lirik puitis lagu “American Pie”-nya Don McLean yang menjadi favorit sejak tahun 1972, juga judul bukunya Alexandra Manna dan Mike Gibbs, kemudian mendorong saya spontan menulis untuk di-posting dalam milis ASSI : “Saya merasa, terbunuhnya seorang suporter kesebelasan di Indonesia adalah sama dengan tewasnya sepakbola Indonesia”.
Tetapi hari sepakbola Indonesia mati tidak hanya terjadi saat seorang suporter bernama Beri Mardias mati. Juga saat Suhermansyah, suporter Persebaya, yang tewas terinjak-injak massa saat laga PSIM vs Persebaya di Stadion Mandala Krida Yogyakarta, Februari 1995. Atau ketika enam orang suporter PSIS tewas tertabrak KRL dan 12 orang lainnya cedera, di Lenteng Agung Jakarta, April 1999.
Kemudian peristiwa Mei 2001, seorang suporter PSIS tewas dihakimi massa setelah puluhan suporter PSIS melakukan penjarahan di Stasiun Manggarai Jakarta, usai mendukung timnya di Bogor. Memang belum ada catatan sejarah mengenai kecelakaan pesawat terbang yang menimpa tim sepakbola Indonesia sebagaimana bencana yang merenggut nyawa Buddy Holly atau pun tim Torino, Italia.
Tetapi di tengah berkobarnya eforia Piala Dunia 2002 di Korea dan Jepang (31 Mei – 30 Juni 2002), yang sesama bangsa Asia, rasa ingin tahu mengenai posisi Indonesia di tengah percaturan sepakbola dunia, berakhir dengan jawaban betapa kematian yang lebih dalam serasa menyelimuti sepakbola Indonesia.
Saat itu, dengan yakin, telah saya masukkan kata kunci “Indonesia football” pada fasilitas penelusur (search engine) dalam situs FIFAworldcup.com, situs resmi Piala Dunia 2002. Jawabannya mengagetkan. Sekaligus mengecewakan. Mirip tamparan. Sebab jawaban yang muncul secepat kilat itu hanyalah penolakan otomatis dari situs bersangkutan. Isinya ringkas. Telak. Menyatakan bahwa tidak ada satu pun informasi yang dikandungnya mencocoki dengan subjek yang saya ajukan.
Aroma kematian sepakbola Indonesia terasa begitu merujit-rujit hati saat itu, ketika mendapati realita betapa media sepakbola berskala global tidak mempunyai sesuatu cerita apa pun tentang sepakbola Indonesia.
Karena penasaran, saya ngotot memasukkan kata kunci yang sama pada mesin penelusur umum yang lebih terkenal, Google. Jawaban yang berupa anotasi-anotasi, kali ini muncul. Tetapi yang agak signifikan, sekaligus paling gres, subjek informasi dari salah satu anotasi itu justru mengenai peristiwa bentrokan parah dan berdarah antarkelompok suporter sepakbola Indonesia.
Dalam hal ini antara Viking (Bandung) vs The Jakmania (Jakarta) seusai bersama Aremania (Malang), Pasoepati (Solo) dan regu ASSI (saya ikut di dalamnya), bergairah mengikuti kuis Siapa Berani ? di televisi Indosiar, 12 Maret 2002.
Saya masih ingat, atas ide brilyan Aremania, menjadikan kuis ini nuansanya berbeda dibanding hari-hari lainnya. Sungguh mengharukan dan membanggakan, tetapi buntutnya justru ironi, karena semua para peserta kuis yang suporter Indonesia itu sebelumnya nampak kompak bersamaan menyanyikan lagu heroik, “Padamu Negeri”.
Anotasi hasil penelusuran Google lainnya, kemudian, bahkan tidak terduga memunculkan nama Mursyid Effendi dalam kaitannya dengan sepakbola Indonesia. Tetapi artikel tersebut sebenarnya tidak membahas khusus sepakbola Indonesia. Melainkan mengenai tim Thailand, calon superpower sepakbola Asia.
Artikel yang ditulis oleh Mike Lee, Desember 2001, di situs www.footballculture.net, menceritakan kebangkitan tim Thailand yang dilatih Peter Withe, asal Inggris, setelah reputasi tim nasionalnya tercoreng saat berlangsungnya perempat-final Piala Tiger 1998, di Hanoi, Vietnam. Peristiwa aib yang sama sekaligus melibatkan tim nasional Indonesia !
Peristiwa hitam itu terjadi ketika tim Thailand yang melawan Indonesia, yang sama sekali tidak menggubris etika dan roh olahraga itu sendiri, yaitu sportivitas, dengan justru berusaha mati-matian agar tim mereka memperoleh kekalahan pada akhir pertandingan. Tujuannya, agar mereka terhindar untuk bertemu dengan tuan rumah di semi-final.
Saat skor menunjukkan 2-2 pada masa perpanjangan waktu, pemain Indonesia, Mursyid Effendi, sukses menembak ke arah gawangnya sendiri. Kiper Indonesia saat itu tidak berusaha menepis. Tetapi justru banyak para pemain Thailand yang berusaha menjaga gawang timnas Indonesia agar tidak kebobolan
Skandal Mursyid Effendi, yang ternyata skenarionya dirancang masak oleh fihak manajer tim dan jajaran PSSI, sekarang menjadi batu nisan abadi, penanda hitam suatu hari tewasnya sepakbola Indonesia.
Persis sama dengan tragedi kematian sepakbola Indonesia yang bersumber dari motif kerdil, yang pekat melatarbelakangi preseden “sepakbola gajah” tahun 1988 di tanah air. Dalam pertandingan terakhir putaran kedua kompetisi Divisi Utama Perserikatan PSSI Wilayah Timur, 21 Februari 1988, tuan rumah Persebaya dibantai oleh Persipura, 0 – 12.
Kekalahan busuk penuh rekayasa ini merupakan balas dendam tak langsung Persebaya atas PSIS Semarang, sehingga juara bertahan 1986/1987 tersebut tidak dapat lolos untuk berlaga di putaran final di Senayan.

Fast Forward 2003. Hari-hari sepakbola Indonesia kembali mati. Pada bulan Juni 2003, dalam daftar peringkat yang dikeluarkan resmi oleh FIFA, Indonesia menduduki peringkat 89 di antara 204 negara di dunia. Di atasnya terdapat Thailand pada peringkat 65, Cina di nomor 68, dan jangan coba bandingkan dengan Jepang atau Korea Selatan yang sudah kelas dunia. Keduanya sama-sama nangkring anggun di peringkat 24.
Tetapi peringkat itu bagi Indonesia sama sekali tidak ada artinya dalam kenyataan. Bahkan merupakan anomali dan menerbitkan ironi. Mari kita jajarkan bukti.
Timnas U-23 Pra-Olimpiade Athena kita digusur tim lemah Lebanon dengan agregat 2-5, bulan Juni 2003. Padahal Lebanon hanya berperingkat 121. Lalu timnas U-18 kita juga gagal dalam turnamen ASEAN Football Federation (AFF) 2003 di Ho Chi Minh City, Vietnam. Timnas kita hanya mampu menang 1-0 atas Kamboja (peringkat 170) dan Filipina (184), tetapi dibantai 0-3 oleh tuan rumah Vietnam yang sebenarnya dalam daftar FIFA berada pada peringkat yang lebih rendah (95).
Ironi terbaru meledak pada Kejuaraan Sepakbola Liga Champions ASEAN LG Cup 2003, Juli 2003, di mana Indonesia menjadi tuan rumah. Wakil Indonesia, Persita Tangerang dan Petrokimia Putra, disingkirkan oleh satu tim yang sama, Kingfisher East Bengal (India) dengan 1-2 dan 7-8 pada perempat final dan semifinal. Dari tayangan televisi nampak kedua tim wakil Indonesia itu benar-benar kalah kelas, juga kalah cerdas, walau India dalam peringkat FIFA sesungguhnya berada pada nomor 129. Atau 40 tingkat di bawah Indonesia !
Kesebelasan wakil-wakil Indonesia berguguran, digusur habis oleh tim-tim asal negara yang dalam peringkat FIFA justru berada di bawah kita. Mengapa hal buruk itu terjadi ? Seperti halnya tipikal orang Indonesia yang konon paling pintar mencari kejelekan dan kekurangan fihak lain, saya sempat tergoda untuk menghujat : apakah FIFA begitu goblog dalam menentukan peringkat Indonesia yang senyatanya ? Siapa yang tahu.
Mungkin kita harus mencari jawab dengan melihat indikator lain, di luar sepakbola, untuk dapat melihat bopeng diri kita sendiri. Lihat, data terbaru keluaran UNDP (Program Pembangunan PBB) mengenai peringkat pembangunan manusia 2003. Terkuak bahwa Indeks Pembangunan Indonesia berada pada nomor 112 dari 175 negara. Di Asia Tenggara, Indonesia terpuruk di bawah Thailand (74), Filipina (85) dan Vietnam (109), walau masih di atas Kamboja (130) atau pun Myanmar (131).
Akar dari seluruh carut-marut bobroknya prestasi sepakbola dan pembangunan manusia Indonesia, tidak lain adalah akibat meruyaknya korupsi. Menjelang Piala Dunia 1998, Sekjen Asian Football Confederation (AFC), Peter Velappan, sempat mengenang kejayaan tim-tim sepakbola Asia Tenggara.
Bahkan ia sebutkan, Indonesia yang memakai bendera Dutch East Indies saat itu, adalah tim Asia pertama yang berlaga di Piala Dunia 1938. “Pada era 50 dan 60-an, tim-tim Asia jangan bermimpi mampu menaklukkan tim Asia Tenggara”, katanya. Tetapi kini, sepakbola Asia Tenggara hanya memble, underachiever, prestasinya, karena korupsi dan pengelolaan yang tidak kompeten.
Padahal, “Indonesia adalah Brasil-nya Asia”, tegasnya. “Pemain-pemain Indonesia bermain dengan intelejensia dan bakat unik yang tiada sama di dunia. Bakat-bakat mereka lebih baik dibanding pemain Korea atau Jepang, tetapi mereka dan organisasi sepakbolanya tidak mempunyai tekad bulat dalam memerangi korupsi yang membelitnya”.
Revolusi PSSI 2011. Hari-hari ini Ibu Pertiwi, tanah air Indonesia, memanggil putra-putri terbaiknya untuk saling bergandeng tangan. Untuk meneguhkan semangat dan karya guna menyelamatkan masa depan sepakbola Indonesia. Berusaha membangkitkannya kembali. Dengan merebutnya dari kangkangan rejim otoriter, yaitu penguasa PSSI yang dikenal sebagai tokoh yang korup, Nurdin Halid, beserta kroni-kroninya.
“Tidak diragukan lagi bahwa sekelompok pribadi yang cerdas, warga negara yang peduli, yang mampu mengubah dunia, dan hanya itulah yang selama ini terjadi,” demikian kata antropolog terkenal Margaret Mead (1901-1978).
Ucapan itu semoga memberi kita kekuatan dan keteladanan. Kita dapat berkaca dari kiprah anak-anak muda patriotis seperti Wael Ghonim dan Khaled Kamel dengan akun Facebooknya telah mampu membuat sejarah. Mampu menyatukan bangsa, sehingga menggulirkan revolusi untuk berhasil merobohkan diktator yang telah lama bercokol di Mesir.
Ibu Pertiwi kini memanggil putra-putri yang terbaik untuk bersatu, menyingsingkan lengan baju, untuk tujuan yang sama. Menggalang kekuatan guna merobohkan rejim korup dalam tubuh sepakbola Indonesia yang syahwatnya untuk berkuasa sudah pada tahap yang tidak lagi bisa ditoleransi oleh akal sehat dan rasa keadilan.
Selamat berjuang, saudara satu jiwa, suporter sepakbola Indonesia.
Agar sepakbola Indonesia segera bangkit kembali dari kematian yang panjang.
Kita dan Anda semua mampu membuat sejarah !
Wonogiri, 21-22/2/2011
* Penulis adalah penulis buku humor politik Komedikus Erektus : Dagelan Republik Kacau Balau (2010).
Sumber: http://suporter.blogspot.com/

No comments:

Post a Comment